Magetan l gadingnews.co.id - Mitos dan Makna Pernikahan
Mitos sering kali dipercaya sebagai kisah yang benar-benar terjadi oleh masyarakat yang menganutnya, meskipun isinya sering kali mengandung unsur gaib atau tidak masuk akal (irrasional). Mitos merupakan cerita tradisional terun temurun yang diwariskan dari suatu masyarakat tertentu. Meskipun tidak dikenal dan diketahui siapa pencipta cerita dari mitos, tetapi mitos mempunyai kemampuannya sendiri bertahan di tengah masyarakat hingga pada era post modern saat ini hal itu karena mitos mengandung unsur dari keyakinan atau kepercayaan masyarakat hingga di Sebagian masyarakat tertentu membuatnya sesuatu yang sakral.
Di antara mitos yang hingga saat ini bertahan di dalam kepercayaan masyarakat adalah tentang mitos pernikahan. Pernikahan adalah ikatan resmi antara dua orang (biasanya laki-laki dan perempuan, meskipun dalam beberapa budaya atau hukum tertentu bisa berbeda) yang disahkan secara hukum, agama, sosial, atau budaya dan atau adat-istiadat, untuk hidup bersama sebagai pasangan suami istri.
Secara hukum pernikahan adalah ikatan yang sah di mata negara yang biasanya dicatat oleh lembaga resmi seperti Kantor Urusan Agama (KUA) atau Catatan Sipil. Ikatan ini memberikan status hukum, hak, dan kewajiban bagi kedua belah pihak (suami-istri). Sedangkan secara sosial pernikahan adalah pengakuan dan persetujuan dari masyarakat bahwa dua orang telah bersatu sebagai pasangan dan keluarga.
Sedangan secara konteks agama, pernikahan sering kali dianggap sebagai ibadah atau ritual suci. Tujuan utamanya adalah untuk memenuhi perintah Tuhan, membentuk keluarga yang sakinah (damai), dan melahirkan keturunan. Setiap agama memiliki tata cara dan keyakinan yang berbeda-beda tentunya mengenai pernikahan.
Sedangkan secara budaya, pernikahan adalah upacara adat yang memiliki makna dan tradisi yang kaya. Setiap daerah atau suku bangsa memiliki serangkaian ritual yang unik untuk menggelar atau merayakan pernikahan. Upacara ini sering kali menjadi momen penting untuk menyatukan dua keluarga besar.
Mitos-Mitos Pernikahan
Beberapa daerah di Indonesia memiliki mitos bulan dan hari baik untuk dilangsungkannya pernikahan. Seperti di Madura, misalnya pada bulan Syawal. Bulan ini dianggap paling pas untuk dilaksnakan pernikahan karena bulan ini bulan kemenangan dan keberkahan. Masyarakat Madura juga sangat percaya pada perhitungan hari dan bulan baik (petungan) sebelum menentukan tanggal pernikahan. Tujuannya adalah untuk memastikan pernikahan berjalan lancar dan jauh dari kesialan.
Biasanya Neptu weton kedua calon pasangan pengantin akan dijumlahkan. Hasil penjumlahan ini kemudian akan dibagi atau dicocokkan dengan hitungan tertentu dalam kitab primbon Jawa untuk memprediksi nasib rumah tangga mereka. Jika hasil perhitungan weton tidak cocok, seringkali ada ritual tertentu yang dilakukan untuk "menetralkan" nasib buruk rumah tangga pasangan, seperti ruwatan.
Masyarakat Jawa juga percaya pada larangan pernikahan di bulan Suro atau bulan Muharram, bulan Suro dianggap sebagai bulan yang sakral dan penuh aura spiritual. Oleh karena itu, masyarakat Jawa meyakini bahwa melangsungkan pernikahan atau hajatan besar lainnya di bulan ini adalah pantangan.
Ada kepercayaan bahwa banyak hal-hal gaib yang bergentayangan di bulan Suro. Melaksanakan pesta pernikahan pada bulan tersebut dikhawatirkan akan mengundang kesialan, musibah, atau bahkan mendatangkan nasib buruk bagi pasangan.
Dunia Jawa juga memperhatikan urutan anak dalam pernikahan. Misalnya, pernikahan antara anak pertama dan anak ketiga sering dihindari. Alasannya, konon perbedaan karakter yang jauh antara keduanya sehingga akan memicu konflik dan ketidakharmonisan. Demikian pula pada anak pertama, yaitu misalnya kedua calon pengantin adalah anak pertama, dan salah satu orang tua mereka juga merupakan anak pertama. Kepercayaannya, pernikahan ini akan membawa musibah atau malapetaka. Sebab berjajar tiga anak pertama.
Di samping Madura dan Jawa mitos-mitos pernikahan juga terjadi di banyak daerah di Indonesia, misalnya pada daerah Sulawesi. Mitos-mitos ini umumnya berfungsi sebagai pedoman agar pernikahan berjalan lancar dan langgeng.
Di daerah suku Bugis-Makasar ada tradisi yang paling dikenal terkait dengan pernikahan,yaitu Uang Panaik. Meski bukan mitos murni, besaran uang panaik atau mahar yang tinggi dipercaya sebagai simbol kemampuan calon mempelai pria untuk menafkahi dan membahagiakan istrinya di kemudian hari. Mitos yang berkembang di masa lalu bahkan menyebutkan uang panaik melambangkan kemampuan pria untuk memberikan kemakmuran bagi keluarga.
Di sana juga terdapat kepercayaan bernama Malloangeng. Kepercayaan ini adalah bahwa dalam upacara pernikahan kedua mempelai akan saling menginjak kaki pasangannya. Mitosnya, siapa yang lebih dulu berdiri dan menginjak kaki pasangannya akan cenderung lebih berkuasa dalam rumah tangga. Di dalam Bugis-Makasar modern tradisi ini dianggap tidak sejalan dengan tujuan pernikahan yang seharusnya saling menghormati dan bekerja sama. (Ustad Yusuf)
0Komentar